Cara Efektif Berhenti Jadi Manusia

Kemuliaan diberikan Allah kepada manusia secara cuma-cuma. Bahkan sejak ruh ditiupkan ke dalam tubuhnya yang masih berbentuk janin. Sayangnya, banyak manusia tak sadar bahwa ketinggian martabat ini tidak langgeng dengan sendirinya.

Ketinggian martabat ini harus dijaga sebaik-baiknya menuruti garis dan aturan yang telah ditetapkan Sang Pencipta, agar tidak bergeser, terpeleset bahkan terpuruk jatuh ke tempat yang serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah dari makhluk apapun.

Difirmankan Allah SWT, “Kemudian Kami jatuhkan ia ke lapisan yang serendah-rendahnya.” (Surat At Tiin 5). Peringatan ini mengharuskan kita berhati-hati mengatur langkah agar jangan salah jalan dan justru menurunkan martabat diri sendiri. Beberapa penyebab yang bisa menjatuhkan martabat manusia, antara lain;

1. Mengingkari ayat-ayat Allah

Surat Muhammad ayat 12 menggambarkan keadaan itu, “Dan orang-orang yang ingkar bersenang-senang dan makan sebagaimana hewan ternak makan.”

Juga Surat al-Anfal 55, “Sesungguhnya yang sejelek-jelek hewan melata menurut pandangan Allah ialah orang-orang yang ingkar, karena mereka tidak beriman.”

Seperti apakah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah itu? Bentuknya bermacam-macam. Bisa jadi mereka mengingkari secara langsung apa yang telah tertulis dalam al-Qur'an. Mengingkari keberadaan surga dan neraka, mengingkari perintah ibadah dan amar ma'ruf yang difirmankan Allah, atau menyalahkan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah di sana.

Atau mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut berlaku bukan untuk mereka, tetapi untuk orang lain. Mencari-cari alasan agar dirinya tidak tergolong orang yang dikenai aturan dalam Al Qur'an yang tak ia sepakati itu.

Atau bisa jadi mereka meragukan isi dari ayat-ayat Al Qur'an tersebut. Meragukan kebenaran ayat tentang ijin berpoligami bagi laki-laki, misalnya? Jangan sampai itu menghinggapi diri kita. Jika kita belum mampu melaksanakannya, atau bahkan belum bisa menerima, lebih baik kita akui kekurangan diri manusia, karena mengendalikan akal dan nafsu memang merupakan usaha yang sulit.

Kalau kita belum bisa menerima sepenuh hati ayat-ayat Al Qur'an, mari kita akui kekurangan diri kita, tetapi tetaplah yakin bahwa ayat-yat tersebut pasti benar, pasti mengandung hikmah kebaikan bagi semua umat. Berdoalah saja, agar suatu ketika kelak Allah bukakan hati dan pikiran kita agar kita bisa menerima kebenaran tersebut seratus persen.

2. Kebodohan Terhadap Aturan Allah

Surat al-A'raf ayat 179, “Dan sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi neraka berapa banyak jin dan manusia yang mempunyai akal tetapi tidak dapat berpikir dengnnya, yang mempunyai mata tetapi tidak dapa melihat dengannya, dan yang mempunyai telinga namun tak dapat mendengar dengannya, mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi, mereka itu adalah orang-orang yang lalai.”

Akal, adalah sebuah perangkat yang diberikan Allah kepada manusia untuk bisa membedakan baik buruk, untuk memilih mana yang seharusnya dilakukn dan maan yang tidak. Tetapi banyak manusia tak mau mempergunakannya.

Seorang pencuri, misalnya, beragama Islam dan tahu bahwa di akhirat ada nerajka sebagai tempat pembalasan perbuatan jahat. Akalnya tak mengingkari hal tersebut, tetapi ia tak gunakan akalnya itu. Yang ia gunakan justru perasaannya. Yang penting memperoleh uang dalam waktu singkat dan hati menjadi senang. Masalah siksa neraka, toh masih lama dan belum terasa sekarang. Karena tidak dirasakan langsung akibatnya, maka akal malas memikirkan tentang siksa itu.

Perangkat mata, telinga dan hidung pun disediakan Allah untuk fungsinya masing-masing. Tetapi mereka tidak pergunakan matanya untuk melihat kebenaran. Di hadapan mereka yang benar menjadi nampak salah dan yang buruk menjadi indah dipandang sehingga dikiranya benar. Akibatnya, matanya itu mereka pergunakan untuk melihat hal-hal maksiyat. Menonton hiburan yang haram dan tidak menutup aurat, misalnya. Sebaliknya mereka enggan melihat hiburan maupun hal-hal yang baik.

Telingapun hanya dipergunakan untuk mendengar lagu-lagu yang tak bermanfaat dan merangsang hawa nafsu semata, tetapi menolak jika diperdengarkan pengajian aatu bacaan kitab suci Al Qur'an.

Sementara hidung tidak dipergunakan untuk mencium barang-barang halal, malah dipergunakan untuk maksiyat dan menyenangkan hati semata.

Orang-orang seperti inilah yang dikatakan lebih sesat daripada binatang. Naudzubillah, bukankah ini sungguh sebuah tanda jatuhnya martabat manusia?

3. Memperturutkan Kehendak Hawa Nafsu

Tidak dipergunakannya akal dengan semestinya akan lebih diperparah lagi dengan perbuatan memperturutkan hawa nafsu manusia.

Surat Al Mu'minun 71,

“Dan kalau kiranya kebenaran itu ditundukkan kepada hawa nafsu mereka, sungguh akan rusaklah langit dan bumi serta apa yang ada pada keduanya itu.”

Terbukti, peperangan yang terjadi di berbagai belahan bumi telah membuat kerusakan hebat di langit, bumi dan apa yang ada pada keduanya. Alam, lingkungan serta masyarakat yang sudah dibangun puluhan bahkjan ratusan tahun dengan susah payah bisa hancur lebur tanpa sisa hanya dalam hitungan hari.

Semua itu ternyata hanyalah sebuah permainan besar dari keinginan hawa nafsu beberapa gelintir orang yang ingin mempertahankan kekuasaannya, dan bernafsu mengalahkan orang lain. Mereka pun mencari-cari alasan untuk bisa memberlakukan embargo ekonomi maupun sejata kepada negaar-negara musuhnya, juga mencari-cari alasan utuk mengirim pasukan tempurnya ke negara lain walau tujuan sebenarnya melakukan invasi.

Kita lihat pula bagaimana keadaan manusia yang memperturutkan hawa nafsu seksual mereka, sehingga mereka tega berbuat jauh lebih hina dari pada binatang! Mereka berganti-ganti pasangan untuk meluapkan nafsu seks dengan bebas, persis seperti binatang yang bisa berganti jantan dan betina di setiap musim kawin.

Ada pula orang yang tanpa malu mengumbar hawa nafsunya dengan berpelukan dan berciuman di tempat umum, persis juga seperti binatang yang bisa kawin dimana saja, di tengah-tengah keramaian sekalipun! Bahkan lebih parah ada yang bergaul sesama jenis, dan berani mempertontonkan pasangannya dengan bangga di depan umum. Ini bahkan jauh lebih hina dari pada binatang, karena tak ada binatang jantan yang mau kawin dengan jantan, dan tak ada pula betina mau kawin dengan betina.

Sedangkan cacing, binatang yang memiliki dua macam alat kelamin, yaitu kelamin jantan dan kelamin betina, tetap tak pernah keliru melakukan hubungan perkawinan dengan cacing lain. Alat kelamin jantan cacing yang satu pasti berhubungan dengan kelamin betina cacing lain, tak pernah keliru kelamin jantan dengan jantan.

Bukankah ini berarti martabat manusia menjadi jatuh serendah-rendahnya, lebih rendah dari pada cacing sekalipun ?

4. Memperturutkan Rayuan Setan

Surat an-Nisa' 60, “Dan setan menghendaki supaya mereka sesat sebenar-benarnya sesat.”

Sungguh jahatnya setan, karena mereka bukan sekedar menginginkan manusia menjadi sesat. Lebih jauh, mereka berusaha membuat manusia `sesat sebenar-benarnya sesat'. Jika berhasil membuat orang menjadi jahat, maka terus dibujuknya orang tersebut untuk mengajak orang lain berbuat jahat seperti dirinya.

Setelah selesai berbuat satu kejahatan, setan pun terus menumbuhkan rasa tak puas dalam hatinya dan terus mendorong untuk berbuat kejahatan yang lain. Begitulah setan, yang tak pernah puas dan berhenti berusaha jika manusia belum `sesat sebenar-benarnya sesat'.

5. Berbuat Maksiyat

Perbuatan maksiyat yang ringan, seringkali diremehkan oleh manusia. Bukankah kesalahannya hanya kecil, mengharapkan diampuni cukup melalui shalat, merasa mampu untuk tak akan mengulanginya lagi di waktu lain, atau merasa masih memiliki waktu dan umur untuk mohon ampun sebelum mati. Padahal, sesunguhnya begitu banyak kejahatan besar yang mulanya diawali dari kesalahan-kealahan kecil semata.

Kita harus berhati-hati dengan memahami pola kerja otak yang menyukai metode pembiasan. Melalui metode pembiasaan ini, otak menerima apa saja yang dibiasakan sebagai informasi yang melekat. Informasi itulah yang kelak dianggap baik dan benar olehnya.

Ketika sebuah informasi salah masuk ke otak, bisa jadi ada bagian otak lain yang menolaknya karena kebenaran data baru tadi bertentangan dengan data lama yang pernah terekam otak. Tetapi jika terus menerus terulang proses masuknya informasi salah tadi melalui metode pembiasan, maka lama kelaman bekasnya akan tergores dalam di otak, sehingga satu saat akhirnya otak pun secara otomatis menerimanya sebagai pembenaran, sekaligus menghapus data awal kebenaran yang bertentangan dengan data baru tadi.

Begitulah proses terulangnya sebuah kesalahan kecil, yang akan memancing orang untuk mengulanginya, dan mengulanginya lagi, Ketika orang sadar kesalahan telah ia perbuat, tiba-tiba nampak kesalahannya sudah besar, dan menjadi sulit untuk membenahinya kembali.

Sumber: http://www.hidayatullah.com/2000/11/kajut2.shtml

 | Kembali Ke Laman Utama | Arkib Rencana |